Kalau Anda mengenal watak
orang Korea dan Amerika, mungkin Anda akan sepakat dengan saya, Samsung tak akan
menyerah ditekan Apple.
Pekan lalu Samsung didenda USD1 miliar atas
tudingan telah mengambil tanpa hak beberapa elemen kekayaan intelektual
Apple (yang tak diakui Samsung) dan minggu ini Apple meminta pengadilan
melakukan injunction agar melarang delapan produk Samsung beredar di
seluruh pasar Amerika Serikat. Di lain pihak, Samsung baru saja mengumumkan
rencana ekspansi dengan membuka pabrik besar-besaran di Amerika
Serikat untuk memasok kebutuhan memorychip bagi Apple.
Orang Korea yang saya kenal bersuara halus, tetapi
berwatak keras. Daya juangnya seakan tak pernah habis, sekuat tenaga
yang dijanjikan akar ginseng. Mental menembusnya sangat kuat sekalipun
medan yang dihadapi
berbahaya untuk dimasuki. Seperti itulah mereka
menempati kawasan berbahaya di Los Angeles (LA) yang tak berani
didiami warga Amerika sekalipun.
Anda mungkin masih ingat bagaimana mereka
mempersenjatai diri tatkala LA dilanda kerusuhan berat pada 1992. Bukannya lari
seperti kebanyakan kelas menengah kita yang mengalami hal serupa di
Jakarta tahun 1998,
mereka justru menghadapinya dengan senjata laras
panjang. Padahal bahasa Inggris mereka pas-pasan. Dengan modal bahasa
isyarat, mereka menguasai titik-titik strategis di berbagai pelosok dunia.
Sekeras baja itulah pegolf perempuannya, Se Ri Pak, dididik ayahnya menjadi
juara dunia turnamen golf.
Dua Perspektif Berbeda
Pada sisi lain mari kita lihat
perspektif Apple.Langkah yang diambil Apple adalah cerminan watak orang Amerika yang
saya kira mudah Anda kenal. Mereka sangat straight to the point, apa yang
dirasakan itu yang diungkapkan, pegangan mereka adalah aturan
hukum,kompensasi kerugian tanpa perasaan, dan sangat kompetitif. Orang Amerika yang kita kenal memang amat beragam,tetapi dunia mengenal mereka
sebagai bangsa yang ingin mengatur dunia dan merasa pusat dunia ada di
rumah mereka.
Sejak kecil anak-anak di sekolah Amerika
dibiasakan berbicara terbuka, menghargai kesetaraan, berkompetisi, dan
berinovasi. Melakukan plagiat adalah haram. Kalau mengutip kalimat orang lain
sekalipun, harus disebutkan sumbernya. Itu pun belum cukup. Para
pelajar dan mahasiswa wajib mengolah kembali kutipan milik orang lain
itu dengan kata-kata buatan sendiri. Mereka menghargai orisinalitas ide
dan kreativitas.
Tapi begitu ada yang meniru, jangankan bangsa
lain,bangsa sendiri pun dikenai sanksi berat. Seorang plagiator yang
tertangkap tak akan pernah bisa berkarier di dunia akademis sepanjang
hidupnya dan seorang pencuri karya cipta didenda sangat berat. Di lain
pihak,Korea Selatan memasuki pasar dunia yang sudah lebih dulu dikuasai Jepang
yang menjadi obsesinya. Seorang ilmuwan Korea pernah mengatakan,
jalur yang harus mereka lalui adalah inovasi melalui imitasi.
Adapun bagi masyarakat Amerika, imitasi adalah
perbuatan kriminal yang berarti mencuri kekayaan orang lain dan bisa
menghancurkan daya saing bangsa karena imitasi menghalangi niat orang lain
berinovasi. Imitasi adalah disinsentifbagiinovasisehingga
ujung-ujungnya konsumen sendiri yang dirugikan. Namun badan orang Korea terlalu
kecil untuk melompat sejauh inovasi yang sudah dibangun Amerika selama
dua abad. Maka imitasi
yang dulu dilakukan Jepang kini mereka ikuti.
Hanya saja dunia telah berubah menjadi lebih
kompleks, industri berteknologi tinggi semakin ruwet,dan Amerika
sudah semakin licin memagari dirinya dengan jeratanjeratan hukum. Jadi
sesungguhnya bukan Amerika yang ingin mereka tundukkan,melainkan
Jepang. Kalau Jepang bisa buat Honda, Korea buat Hyundai dan bunyinya mirip.
Platform pengembangan teknologinya mirip-mirip Jepang, tetapi diawali
dengan tangan besi militer di bawah kekuasaan Jenderal Park
Chung-hee.Nah,begitu pasar automotif dan konstruksi memasuki tahap
saturation, Korea mengopi cara Jepang mengembangkan platform teknologi informasi
(TI).
Dulu Jepang melalui korporasinya, Fujitsu, juga
pernah mempermalukan Intel saat mengembangkan microprocessor chip pada
1980-an. Meski hak patennya ada di Intel, Fujitsu selalu mampu
meluncurkan chipyang kapasitasnya dua kali lebih besar dalam waktu enam
bulan lebih cepat dari kemampuan Intel memasuki pasar. Toh Intel
bukannya menyeret Fujitsu ke ranah hukum, melainkan melakukan switching ke
chip komputer dan membiarkan Fujitsu berjaya dalam industri game dan
entertainment. Tapi mengapa sekarang Apple begitu marah pada Samsung?
Nazar Keras Kepala
Beberapa menit lalu, saat transit di Bandara Sydney,saya
menyaksikan sejumlah orang memperdebatkan kasus Samsung.
Seorang warga Korea menunjukkan tablet Samsung berlayar kaca antigores
yang tak bisa dibuat Apple. Baginya Samsung pahlawan. Samsung bukanlah
plagiator sejati karena juga mengembangkan teknologi hardware. Dan
baginya, konsumen telah diuntungkan. Buktinya produk berteknologi
sama bisa dipasarkan Samsung dengan separuh harga Apple.
Orang Amerika yang berada di sampingnya ternyata
tak membela Apple, ia justru mengutuknya. Ia tidak bisa menerima langkah
sweeping yang diajukan Apple untuk melakukan injunction sebagai lanjutan dari
putusan peradilan yang memenangkan gugatannya. Injunction
itu berupa permintaan agar delapan produk Samsung dilarang beredar di
seluruh pasar Amerika. Seperti biasanya, setelah itu lawyer Apple yang
jeli melihat uang akan
melakukan hal serupa di negara-negara lain. Memang
kalau diperhatikan, denda sebesar USD1 miliar yang diajukan kelihatan
impresif.
Tapi bagi perusahaan global yang sedang tumbuh,
jumlah sebesar itu hanya menarik di mata media. Harap maklum, anggaran
promosi tahunan Samsung USD2,75 miliar.Samsung adalah penguasa pasar
hardware Android terbesar di Benua Amerika (33%) mengalahkanLG,
Moto,Sony,danHTC. Bahkan Samsung menjadi pemasok komponen dan memory chip yang
penting bagi Apple. Samsung menguasai 70% pasar memory chip untuk
handset berbasiskan Android dan Apple, jauh melebihi Toshiba.
Bahkan 40% pasokan DRAM Apple datang dari Samsung.
Maka, seperti yang saya duga, Samsung memilih bertempur ketimbang
menarik diri. Cara Samsung memang berbeda dengan yang biasa ditempuh
korporasi Jepang yang mudah menyerah kalau ditekan Amerika. Beberapa
detik yang lalu CEO Samsung sudah membuat pernyataan yang sangat
mengejutkan."Kita akan terus bertempur dan bersungguh- sungguh menghadapi
kenyataan ini.
Kita akan melakukan banding dan kami nyatakan akan
terus berupaya untuk menjamin keberadaan barangbarang ini di berbagai
jaringan ritel di Amerika Serikat dan dunia,"ujarnya. Saya
kira, selain berwatak keras, Samsung juga paham bagaimana cara menghadapi
lawyer Amerika Serikat. Menghadapi bangsa besar ini Anda tak bisa bermain
dengan perasaan. Bangsa ini harus dilawandenganargumentasi.
Bila Anda diam berarti tidak mengerti atau
kalah.Dan bagi yang kalah, pintu terbuka lebar. Bukan dengan sowan,cium
tangan atau membuat pernyataan maaf di koran seperti yang menjadi ciri
khas tuntutan para lawyer kita,melainkan membayar. Beberapa waktu
lalu Apple juga membayar ganti rugi sebesar USD600 juta kepada Nokia karena
dianggap lalai menyalahgunakan perjanjian hak cipta dalam kasus
IP.
Selain itu Apple juga sepakat membayar sebesar
USD11,5 dari setiap penjualan iPhone-nya kepada Nokia. Nah sekarang
Apple wajib mencari dana penggantinya. Mudah saja bukan? Kalau Samsung tak
bisa membayar, mereka akan mengalihkannya kepada pelanggannya.Itu saja.
Mereka tak pernah berpikir konsumen itu perasa, punya pertimbangan
lain dan seterusnya. Mereka juga tak berpikir hubungan jangka panjang
dengan vendor-vendornya.Amerika adalah bangsa seperti yang saya sebutkan di
atas.
Mereka pragmatis dan main logis,bukan win-win dan
bukan hubungan saling membantu. Media massa di Amerika menyebut cara
yang ditempuh Apple sebagai cara pemungut pajak. Denda ini kini dikenal
dengan istilah "Apple Tax". Jadi bagi Samsung,buat apa
bawa-bawa perasaan atau memakai budaya Asia lainnya Hadapi saja dengan PERANG GINGSENG, toh dengan beredarnya kasus ini brand power Samsung naik
beberapa kali lipat.
Kendati harga sahamnya sempat anjlok dan platform
baru bermunculan, Samsung masih punya kekuatan pasar yang besar.
Samsung juga mulai mengincar Nokia dan Microsoft yang akan masuk
besar-besaran ke dalam kategori produk yang sama. Jadi, bagi saya, perang
ginseng masih panjang. Ini adalah bagian dari perjuangan yang
diajarkan guru-guru sekolah bisnis Amerika Serikat sendiri pada
bangsa-bangsa Asia. Mereka mengajarkan cara menyaingi korporasi dunia
Amerika, bahkan cara menaklukkannya.
Mereka mengajarkan pentingnya inovasi dan memiliki
paten teknologi.Dan bagi negara seperti Indonesia, penting agar
menciptakan sophisticated corporate yang mampu menggantikan peran negara
dalam penciptaan kesejahteraan. Ini berarti penting bagi kita
melakukan transformasi dari factor-based economy (ekonomi berbaikan SDA)
menjadi innovation-based economy. Dan dalam transformasi itu, intrik,
saling menuntut dan menuduh dalam business law adalah hal yang biasa. Kata Ross
Perot semua itu ada aturannya, kecuali bila Anda memasuki ranah
politik. Jadi adu pintar saja. Mari kita pantau terus perang ginseng
ini.
RHENALD KASALI
Ketua Program MM
Universitas Indonesia
sumber : http://www.seputar-indonesia.com/