Di
sekolah kehidupan kita menyaksikan bahwa setiap manusia di dorong oleh suatu
keinginan untuk maju, untuk bertumbuh, untuk berkembang, untuk meraih apa yang
dipahaminya sebagai kesempurnaan atau kesuksesan hidup. Dorongan untuk mencapai
kesempurnaan atau kesuksesan hidup itu saya sebut sebagai spirit keberhasilan
[the spirit of success], karena hemat saya dorongan tersebut bersifat
spiritual. Dan spirit keberhasilan itu ada dalam diri setiap anak manusia
sebagai pertanda bahwa ia adalah mahluk spiritual, disamping tentu saja mahluk
bio-sosio-psikologis.
Spirit
keberhasilan ini sangat jelas terlihat dalam diri anak-anak batita-balita.
Hampir tanpa pengecualian, anak-anak batita-balita bicara tentang keinginannya,
tentang cita-citanya, tentang masa depannya. Dan hampir tanpa mempertimbangkan
latar belakang sosial ekonomi orangtuanya, anak-anak itu berbicara tentang
hal-hal yang "besar". Ada yang ingin jadi pilot, ada yang ingin jadi
CEO Terbaik, ada yang ingin jadi penyanyi terkenal, ada yang ingin jadi dokter,
ada yang ingin jadi pengusaha kaya, ada yang ingin jadi insinyur, ada yang
ingin jadi menteri, bahkan jadi presiden, dan sebagainya. Mereka ingin punya
pakaian bagus, mainan yang banyak, rumah yang besar seperti istana, mobil yang
serba bisa, bahkan pesawat udara, dan seterusnya. Mereka ingin menikah dengan
puteri cantik atau pangeran tampan dari negeri seberang. Mereka berjanji akan
membelikan orangtuanya sejumlah hal yang belum pernah dimiliki orangtuanya.
Pergi ke bulan atau memetik bintang-bintang adalah soal-soal yang mereka anggap
akan mampu mereka lakukan kelak, suatu hari nanti. Singkatnya, spirit
keberhasilan telah mengembangkan daya imajinasi anak-anak batita-balita sampai
pada tingkat yang amat mempesona.
Masalahnya
kemudian, spirit keberhasilan ini perlahan-lahan meredup dalam diri sebagian
besar anak-anak yang beranjak remaja dan menjadi manusia dewasa. Mereka mulai
menghadapi berbagai masalah dan kesulitan untuk mencapai apa yang mereka
inginkan. Lingkungan di mana anak-anak itu dibesarkan, seolah-olah mengajarkan
mereka untuk sekadar menyesuaikan diri dengan situasi yang ada, dan bukannya
untuk berjuang mengaktualisasikan segenap potensi diri guna mengubah situasi
yang ada agar menjadi lebih baik. Sedikitnya dukungan dari lingkungan hidup di
sekitarnya, termasuk dan terutama orangtua dan pengajar di sekolah, telah
membuat banyak anak-anak usia sekolah dasar belajar untuk merasa tak berdaya,
tak yakin akan kemampuannya, dan tak boleh berpikir tentang sesuatu yang besar
lagi. Perlahan tapi pasti, anak-anak yang merasa tak berdaya dan tak punya
keyakinan diri itu mulai membuang jauh-jauh pikiran-pikiran besar dan cita-cita
terbaiknya. Dan jika perasaan tak berdaya ini berkembang terus, maka pada
gilirannya ia akan melahirkan orang-orang yang pesimis memandang masa depannya.
Untunglah
tidak semua anak-anak kemudian kehilangan spirit keberhasilannya. Sebagian
anak-anak, terutama yang terlatih dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup di
usia pra-remaja, tumbuh dan berkembang dengan cita-cita besar yang membara
untuk mengubah situasi dan kondisi hidupnya. Mereka terus mencari cara untuk
mencapai yang terbaik. Mereka—dan orang-orang yang mendampingi mereka—percaya
bahwa keberhasilan hanya akan diraih oleh orang-orang yang berani menetapkan
tujuan-tujuannya dan kemudian bekerja keras terus menerus sampai mereka
mencapainya. Mereka meninjau kemajuannya pada setiap langkah, dan merayakan
keberhasilan pada tahap-tahap tertentu. Untuk tujuan-tujuan yang belum
tercapai, mereka menarik pelajaran dari seluruh proses yang telah dilalui, dan
mencari cara lain untuk kembali memulai usaha ke arah itu. Mereka merasa yakin
akan kemampuan mereka, dan keyakinan itu melahirkan gagasan-gagasan baru,
gagasan-gagasan yang lebih besar, gagasan-gagasan yang membuat mereka bergairah
dalam setiap langkah mereka. Mereka selalu melihat adanya harapan, dan karena
itu mereka berkembang menjadi orang-orang yang optimis dalam menyongsong masa
depan.
Jika
setiap anak manusia yang dilahirkan di muka bumi ini memiliki spirit
keberhasilan di dalam dirinya, lalu bagaimana kita menjelaskan kenyataan di
atas? Mengapa sejumlah masalah, kesulitan, dan tantangan hidup membuat
anak-anak tertentu bertumbuh menjadi orang-orang yang pesimis, sementara
anak-anak yang lainnya berkembang menjadi pribadi-pribadi yang optimis dalam memandang
masa depan mereka? Mengapa, ketika diperhadapkan pada masalah yang sama,
kesulitan yang sama, tantangan yang sama, sejumlah orang bisa memberikan
respons yang berbeda-beda? Manakah yang membuat seseorang itu bisa menjadi
pesimis atau optimis, tingkat kesulitan yang dihadapinya ATAU cara ia merespons
kesulitan-kesulitan tersebut?
Terhadap
pertanyaan-pertanyaan semacam itu, Carol Dweck, peneliti dari University of
Illinois menunjukkan bahwa anak-anak yang menganggap kesulitan sebagai sesuatu
yang bersifat tetap [berkata pada dirinya "Saya bodoh"] belajar lebih
sedikit dibanding dengan anak-anak yang menganggap penyebab-penyebab kesulitan
sebagai hal yang sifatnya sementara ["Saya tidak mencoba dengan
sungguh-sungguh"]. Anak-anak yang merasa tidak berdaya memusatkan
perhatian pada penyebab kegagalan—umumnya diri mereka sendiri—, sedangkan
anak-anak yang berorientasi pada penguasaan materi memusatkan perhatiannya pada
cara-cara untuk memperbaiki kegagalan. Anak-anak yang merasa tak berdaya,
menghubungkan kegagalannya dengan kurangnya kemampuan [bersifat tetap],
sementara rekan-rekan mereka mengaitkan kegagalannya dengan kurangnya usaha
untuk itu [bersifat sementara].
Sejalan
dengan penelitian Dweck, Martin Seligman dari University of Pennsylvania dan sejumlah
peneliti lain di bidang psikologi kognitif dan pengembangan emosional,
menegaskan bahwa yang menentukan pesimis atau optimisnya seseorang adalah pola
respons-nya terhadap suatu keadaan yang dianggap sebagai kesulitan/masalah.
Pola respons menunjukkan pada perilaku yang sudah menjadi kebiasaan sebagai
hasil pembelajaran dalam waktu tertentu. Mereka yang menganggap kesulitan
sebagai sesuatu yang bersifat permanen ["Ini tidak akan pernah
berubah"], meluas ["Ini akan menghancurkan segala-galanya"], dan
pribadi ["Ini semua kesalahan saya"], menunjukkan pola respons yang
pesimis. Mereka yang merespons kesulitan/masalah sebagai sesuatu yang bersifat
sementara ["Ini akan berlalu/bisa diatasi"], terbatas ["Ini
hanya dalam soal yang satu ini saja"], dan eksternal ["Ada sejumlah
faktor yang menyebabkan hal ini"], menunjukkan respons yang optimis.
Lebih
jauh, studi Seligman dan kawan-kawan menunjukkan bahwa mereka yang memiliki
pola respons pesimis hampir selalu dikalahkan oleh mereka yang memiliki pola
respons optimis. Agen asuransi yang optimis menjual lebih banyak polis
dibanding agen-agen yang pesimis, sekalipun mereka sebenarnya memiliki
potensi-potensi yang relatif setara bagusnya. Agen properti yang optimis
menjual 250-320 persen lebih banyak dari agen properti yang pesimis.
Studi-studi lanjutan menunjukan konsistensi hal tersebut. Pelajar yang optimis
mengungguli pelajar yang pesimis. Manajer yang optimis mengungguli manajer yang
pesimis. Para kadet di West Point yang optimis mengungguli kadet-kadet yang pesimis.
Tim-tim olahraga yang optimis menggungguli tim-tim olahraga yang pesimis.
Rakyat cenderung memilih pemimpin yang menunjukkan optimisme ketimbang
pesimisme. Bahkan terbukti pula bahwa mereka yang merespons kesulitan secara
optimis memiliki usia hidup lebih panjang daripada mereka yang merespons secara
pesimis.
Apa
yang paling menarik dari studi-studi Seligman dan kawan-kawannya adalah bahwa
rasa tak berdaya adalah hasil pembelajaran. Sebaliknya rasa percaya diri,
percaya pada kemampuan untuk mengubah atau mengendalikan suatu keadaan, juga
merupakan hasil pembelajaran. Cara seseorang menjelaskan suatu peristiwa kepada
dirinya [self talk], atau cara seseorang merespons suatu peristiwa yang menimpa
dirinya, entah itu respons yang pesimis atau pun respons yang optimis, adalah
hasil pembelajaran pula. Artinya, karena semua itu merupakan pola respons yang
dibiasakan lewat proses pembelajaran, maka ia bisa dihentikan dan diubah.
Mereka yang sering merasa tak berdaya bisa mulai belajar untuk merasa berkemampuan.
Mereka yang selama ini terbiasa memberikan respons yang pesimis, bisa mulai
belajar untuk memberikan respons yang optimis. Sebab apa saja yang diperoleh
dari hasil pembelajaran bisa dihentikan dan diubah [unlearning], jika ia tidak
mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi kehidupan kita.
Sesungguhnya,
rasa tak berdaya dan respons pesimis bukanlah faktor nasib, bukan faktor yang
kita warisi secara genetika dari orangtua dan nenek moyang, bukan faktor
permanen seperti sifat dasar [traits] yang tak bisa diubah. Demikian juga rasa
berkemampuan, percaya diri, dan respons optimis bukanlah faktor keberuntungan,
melainkan hasil pembiasaan yang bisa mulai kita pelajari tahap demi tahap. Dan
belajar untuk percaya pada kemampuan diri, belajar untuk memberikan respons
yang optimis terhadap kesulitan-kesulitan dalam hidup, adalah pelajaran yang
penting dan semakin penting dalam konteks kehidupan masyarakat dewasa ini.
Bukan saja karena kehidupan masyarakat dewasa ini memperhadapkan kita pada
kesulitan-kesulitan yang makin berat dan kompleks, tetapi terlebih lagi karena
hanya dengan rasa berdaya dan optimis kita bisa tetap menumbuhkan spirit
keberhasilan dalam diri kita masing-masing. Rasa tak berdaya dan pola respons
yang pesimis akan menganiaya spirit keberhasilan yang merupakan karunia ilahi
dalam diri setiap kita. Dan jika spirit keberhasilan ini terus teraniaya, maka
kita akan menjalani hidup yang jauh dari potensi diri kita yang sesungguhnya.
Hal yang terakhir ini harus mati-matian kita hindari, bukan?
Tulisan menarik dari : Andrias
Harefa
3 comments:
terimakasih atas saran dan tipsnya.
Sama - sama trima kasih sudah berkunjung ke blog saya
satu motivasi lagi buat saya. terima kasih saran nya
Post a Comment